Beranda | Artikel
Hadits Arbain Ke 10 - Allah Maha Baik dan Hanya Menerima Yang Baik
Jumat, 6 Maret 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin

Hadits Arbain Ke 10 – Allah Maha Baik dan Hanya Menerima Yang Baik merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala. Kajian ini disampaikan pada 24 Muharram 1441 H / 24 September 2019 M.

Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi

Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain Ke 9 – Kerjakan Perintah Semampunya dan Jangan Banyak Bertanya

Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 10 – Allah Maha Baik dan Hanya Menerima Yang Baik

Hari ini kita akan mempelajari hadits yang ke-10. Dan sebelumnya kita telah mempelajari hadits yang ke-9. Yaitu hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu tentang bagaimana seorang muslim menghadapi atau menyikapi separuh Islam yang berupa hukum-hukum. Dimana kita diperintahkan untuk menjalankan perintah Allah semampu kita dan meninggalkan semua laranganNya. Kemudian kita juga dilarang untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu atau yang berpotensi untuk mengurangi semangat kita untuk beramal, dalam menjalankan perintah atau menghindari larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

InsyaAllah pada kesempatan hari ini masih bersama hadits Abu Hurairah yang lain. Yaitu sebuah hadits riwayat Muslim:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً

Dari Imam Muslim Radhiyallahu ‘Anhu beliau meriwayatkan dari Abu Hurairah. Yakni sahabat yang meriwayatkan hadits yang ke-9 juga. Dan beliau meninggal pada tahun 59 Hijriyah dan merupakan sahabat penuntut ilmu dan sahabat dengan riwayat hadits yang paling banyak. Dimana jumlah riwayat beliau melebihi 5000 hadits. Beliau meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana dia telah  emerintahkan kepada para Rasul. Maka Allah berfirman: “Wahai para Rasul makanlah dari yang baik-baik dan beramallah yang shalih”. Sementara kepada orang-orang yang beriman Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari kebaikan apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebagai rezeki.” Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan ada seorang pria yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya kusut masai dan berdebu. Dia mengangkat tangannya ke langit mengatakan, ‘Wahai Tuhanku, Wahai Tuhanku.’ Sementara makanannya haram, minumannya haram, makanan tambahannya juga haram. Maka bagaimana orang tersebut bisa dikabulkan doanya.” (HR. Muslim)

Ini adalah sebuah hadits yang agung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan dalam hadits ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik. Ibnu Rajab Al-Hanbali Rahimahullahu Ta’ala dan yang lain menjelaskan bahwasanya arti Thoyyib dalam nama Allah yang satu ini artinya adalah terlepas dari berbagai aib dan kekurangan. Dan ini adalah salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. At-Thoyyib adalah nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, jadi termasuk Al-Asmaul Husna. Dan karenanya boleh bagi seorang muslim untuk menghambakan diri kepada nama ini atau memberikan nama kepada anaknya atau yang lain Abdul Thoyyib (hamba dari Allah yang Maha Baik).

Jadi At-Thoyyib adalah salah satu Al-Asmaul Husna, salah satu nama-nama Allah yang indah. Dan karena Allah punya nama ini dan Dia disifati dengan sifat baik dan terlepas dari semua keburukan dan kekurangan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima dari hamba-hambaNya kecuali yang baik-baik saja.

Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menyebutkan bahwasanya hadits ini mencakup semua hal. Hadits ini mencakup amalan kita, mencakup penghasilan dan pekerjaan kita dan juga mencakup sedekah yang kita lakukan. Hadits ini secara lebih umum mencakup seluruh amalan kita. Artinya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima dari amalan kita kecuali hanya yang baik. Kenapa? Karena Dia adalah yang Maha Baik. Allah tidak menerima dari kita amalan kecuali kalau kita mewujudkan taqwa dalam amalan kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّـهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Sungguh Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa saja.” (QS. Al-Maidah[5]: 27)

Dalam ayat ini ada kata إِنَّمَا (hanya). Sungguh Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa saja.

Shalat itu taqwa, tapi agar shalat kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita harus bisa mewujudkan taqwa dalam salat kita. Menjalankannya dengan ikhlas, menjalankannya dengan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, khusyu’ dan seterusnya.

Haji itu taqwa, tapi agar haji kita mabrur dan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kita harus bisa mewujudkan taqwa dalam haji kita. Kita harus ikhlas, tidak boleh mengharap pahala dari haji kita kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melakukannya agar dipuji oleh orang lain, dilihat oleh orang lain, didengar oleh orang lain tapi semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalankan ibadah haji tersebut sesuai dengan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga tidak mencampuri ibadah-ibadah ini dengan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi berdasarkan penafsiran yang luas dan umum ini, hadits yang agung ini bisa menjadi salah satu dalil tentang syarat diterimanya amalan kita.

إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً

“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik.”

Amalan kita harus baik. Dan agar bisa baik amalan kita harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atau terwujud taqwa dalam ibadah-ibadah dan amalan kita itu.

Demikian juga dalam sedekah kita. Kita tidak boleh bersedekah kecuali dengan yang baik-baik. Harta yang disedekahkan haruslah harta yang halal, harta yang bersih. Tidak boleh kita bersedekah dengan harta yang haram, yang kita dapatkan dengan cara yang tidak halal. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang lain:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu), dan Allah juga tidak menerima sedekah dari ghulul.”

Apa itu ghulu? Ghulul adalah harta rampasan yang ditilep atau dicuri oleh seorang Mujahid sebelum harta tersebut dibagikan oleh pemimpin umat Islam. Dalam sebuah jihad (membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala), bisa jadi ada pejuang dan Mujahid yang tergoda dengan dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan ghanimah untuk umat Islam setelah sebelumnya tidak boleh dinikmati oleh umat-umat sebelum kita. Ini termasuk kekhususan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  dibandingkan Nabi-nabi sebelum beliau. Namun ghanimah atau harta ramparan perang ini baru boleh dinikmati secara pribadi secara individu setelah pemimpin umat Islam atau pemimpin jihad tersebut membagikannya kepada masing-masing Mujahidin. Sebelum itu maka harta tersebut tidak boleh ditilep atau diambil dinikmati sendiri. Dan kalau ada orang yang menilep atau mencuri harta rampasan perang ini sebelum dibagi maka itu disebut sebagai ghulul. Jadi bisa jadi ada seorang mujahid atau pejuang yang tergoda. Karena manusia lemah di hadapan fitnah dunia ini, diantaranya adalah harta. Dan ketika kemudian dia tersadarkan mungkin dia akan menyesal dan kemudian dia akan bertaubat dan menyedekahkan harta tersebut di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Maka sedekah dari ghulul/dari harta yang tidak halal seperti ini tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut di atas.

وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima dari kita sedekah yang berasal dari ghulul, yaitu harta yang dicuri dari harta rampasan perang yang belum dibagikan.”

Demikian juga harta-harta haram yang lain. Harta yang didapatkan dari perdagangan yang tidak halal. Misalnya karena berasal dari perdagangan yang memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti khamr atau daging babi atau yang semacamnya. Atau dari transaksi riba atau gharar atau kedzaliman kepada orang lain. Harta yang
seperti ini tidak boleh dipakai untuk bersedekah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidak boleh dipakai bersedekah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Allah tidak menerima kecuali dari yang baik-baik saja.

Hendaknya sedekah kita berasal dari harta yang halal yang kita dapatkan dengan cara yang halal. Itulah sedekah yang akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun kalau kita memiliki harta yang sudah masuk dalam rekening kita, sudah ada dalam simpanan kita, sudah masuk dalam kantong kita padahal itu adalah merupakan harta yang haram, maka cara mengeluarkan bukan dengan sedekah, tapi dengan melepas harta itu bukan sebagai sedekah tapi sebagai bentuk taubat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka kita lepaskan. Sehingga kita tidak mendapatkan pahala sedekah namun kita akan mendapatkan pahala taubat dan melepaskan diri dari harta yang tidak halal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para ulama tidak menyebutnya sebagai sedekah bahkan melarang hal tersebut dipakai untuk bersedekah. Tapi kita boleh takhallus atau melepas diri dari harta tersebut bukan dalam rangka sedekah tapi dalam rangka hanya ingin melepaskan harta haram yang sudah masuk dalam rumah atau kantong kita.

Demikian juga dengan penghasilan dan makanan yang haram, itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk makan dari yang halal, untuk mencari penghasilan yang halal, bekerja pada bidang yang halal. Ini adalah makna ketiga dari dari hadits kita:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً

“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik dan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja.”

Amalan dan ibadah sudah kita jelaskan, kemudian sedekah juga seperti itu, penghasilan dan makanan yang kita makan juga
seperti itu.

Allah tidak menerima dari hambaNya kecuali penghasilan yang halal, pendapatan yang halal, tidak boleh makan kecuali makanan yang halal. Dan hal ini adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para Rasul dan sekaligus juga kepada umat Islam semuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mu’minun ayat 51:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا

Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah yang shalih.”

Jadi para Rasul diperintahkan untuk makan dari yang baik-baik saja. Makan dari yang halal saja, tidak boleh makan dari yang haram-haram. Dan mereka juga diperintahkan untuk beramal shalih, melakukan amalan yang shalih. Ini mengisyaratkan bahwasannya hadits di atas juga mencakup dimensi amal dan ibadah. Bukan hanya makan dan minum serta pendapatan saja tapi juga berbicara tentang amal shalih, menguatkan apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali bahwasanya hadits ini juga umum mencakup amal ibadah kita. Karena dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara tentang makanan yang halal dan juga berbicara tentang amal shalih. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada umat Islam, kepada orang-orang yang beriman, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 172:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari kebaikan apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebagai rezeki.

Jadi, apa yang diperintahkan kepada orang-orang yang beriman sama dengan apa yang diperintahkan kepada para Nabi dan Rasul. Yang ini menunjukkan pada dasarnya hukum yang berlaku untuk para Nabi dan Rasul adalah hukum yang berlaku juga untuk umat mereka. Hukum asalnya seperti itu, tidak ada perbedaan antara Nabi dengan umatnya dalam hukum. Artinya apa yang diperintahkan kepada para Nabi juga diperintahkan kepada umat mereka. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para Nabi untuk makan dari yang halal, untuk beramal shalih. Demikian juga kepada orang-orang beriman Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala memerintahkan kepada mereka untuk makan dari makanan-makanan yang baik. Meskipun dalam beberapa hal ada hukum khusus yang hanya berlaku untuk para Nabi dan Rasul. Dalam agama Islam misalnya, ada beberapa hukum yang khusus untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Diataranya adalah bolehnya beliau menikah lebih dari 4 wanita atau juga bolehnya beliau menikahi wanita yang menghibahkan diri kepada beliau tanpa mahar. Ini adalah hukum yang khusus berlaku untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak berlaku untuk umat beliau. Hal seperti ini disebut sebagai kekhususan, kekhasan, keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan para ulama memiliki banyak literatur dan karya khusus tentang kekhususan dan keistimewaan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ini.

Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan ada seorang pria yang melakukan perjalanan jauh, perjalanan panjang, safar yang panjang, pakaiannya kusut masai dan berdebu. Dia mengangkat tangannya ke langit, mengatakan, “Ya Robbi, Ya Robbi” tapi makanan dia haram, minuman dia haram, makanan tambahan dia juga haram, maka bagaimana orang seperti itu bisa dijawab doanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bagaimana dia berharap doa dia mustajab?

Jadi setelah menjelaskan apa yang beliau sampaikan di depan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin menjelaskan bahwasanya ada diantara umat ini yang tidak mentaati aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah perintahkan dia untuk beramal shalih tapi dia tidak beramal shalih. Allah memerintahkan dia untuk makan dari makanan yang halal tapi dia tidak ikuti itu.

Jadi ini menunjukkan bahwasannya ada di antara hamba-hamba Allah yang taat dan ada juga yang tidak mau mendengar, tidak mau mentaati aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Contohnya adalah orang yang disebutkan dalam hadits ini. Seseorang yang melakukan perjalanan panjang, dia melakukan semua faktor yang bisa membuat doanya terkabulkan, tetapi pada saat yang sama dia makan dari makanan yang haram, minum dari minuman yang haram, pakaiannya adalah pakaian yang haram, kemudian makanan tambahannya juga haram. Tadi mungkin di awal hadits saya lupa menyebutkan:

وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَبِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ

Ini sebagai koreksi. Jadi orang ini makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, makanan tambahan atau suplemennya juga haram. Dan pada saat yang sama dia melakukan empat faktor yang bisa membuat doanya terkabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang pertama adalah dia melakukan perjalanan panjang. Dan safar adalah salah satu faktor yang membuat doa seseorang terkabulkan. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud Ibnu, Majah dan Tirmidzi, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ

“Ada tiga doa yang mustajab tanpa ada keraguan di dalamnya.”

دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ

“Doanya orang yang terdzalimi, doanya orang musafir (sedang melakukan perjalanan jauh), dan yang ketiga adalah doa orang tua untuk anaknya.”

Dan dalam sebuah riwayat Tirmidzi disebutkan:

وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلىَ وَلَدِهِمَا

“Doa orang tua untuk keburukan anaknya.” ini juga Mustajab, hati-hati para orang tua. Anda punya senjata andalan di hadapan Allah Subhana wa Ta’ala yaitu doa untuk kebaikan anak Anda. Tapi ingat bahwasanya doa untuk keburukan anak Anda juga Mustajab. Maka hindari berdoa buruk untuk anak terutama saat sedang marah, karena doa Anda mustajab.

Jadi, salah satu faktor yang membuat doa seorang terkabul adalah berdoa dalam posisi safar. Apalagi dalam hadits ini disebutkan orang tersebut sedang melakukan perjalanan jauh, safarnya panjang. Maka itu lebih bisa membuat doanya terkabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian yang kedua adalah dia dalam keadaan kusut masai berdebu. Setelah perjalanan panjang ini dia memiliki pakaian yang kusut, badannya berdebu, pakaiannya berdebu, dan ini juga adalah salah satu faktor yang menambah peluang terkabulnya doa oleh seseorang. Karena dalam sebuah hadits shahih, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

رُبَّ أَشعَثَ أَغبَرَ مَدفوعٌ بالأَبوابِ لَو أَقسَمَ عَلَى اللهِ لأَبرَّهُ

“Betapa banyak orang yang memiliki pakaian yang kusut masai berdebu yang ditolak di pintu-pintu karena dia adalah orang yang jelata bukan tokoh, bukan pejabat. Tapi kalau dia bersumpah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka Allah akan jawab doanya. Allah akan kabulkan doanya. Allah akan kabulkan sumpahnya.” (HR. Muslim)

Juga dalam hadits shahih tentang orang-orang yang berdoa pada hari Arafah. Disebutkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ta’ala berfirman, ini hadits qudsi, “Lihatlah para hamba-hambaKu yang berdoa kepadaku. Mereka datang dalam keadaan kusut masai. Maka Aku persaksikan kalian bahwasanya Aku telah mengampuni mereka.”

Ini menunjukkan bahwasanya kondisi kusut masai berdebu juga merupakan salah satu faktor yang mendukung terkabulnya doa seorang hamba.

Kemudian yang ketiga dia mengangkat tangannya ke langit. Dan mengangkat tangan adalah salah satu adab dalam berdoa, salah satu faktor yang membuat doa kita dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hadits ini juga sekaligus menunjukkan bahwasanya Allah berada di atas, Allah berada di atas langit, Allah berada di ketinggian. Ini adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tidak bisa ditolak oleh fitrah kita. Bahkan orang-orang yang berusaha untuk menjelaskan hal lain yang bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini secara tidak sadar ia juga mengangkat tangannya ke langit.

Ada seorang yang berasal dari Hamadzan yang bertanya kepada Abul Ma’ali Al Juwaini Rahimahullahu Ta’ala, ketika beliau berusaha menjelaskan aqidah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Orang ini mengatakan, ”Wahai Abul Ma’ali, tinggalkan semua dalil yang kau sebutkan itu tapi jelaskan kepada saya kenapa setiap saya berdoa, setiap orang berdoa mereka otomatis mengangkat tangannya ke langit?” Maka Abul Ma’ali Al Juwaini Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Pria Hamdzan ini telah membuat saya bingung, telah membuat saya ragu dengan apa yang telah saya sampaikan.”

Orang yang mengharapkan dikabulkan doanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat tangannya ke langit dan itu pula yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Dan Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullahu Ta’ala menyebutkan ada beberapa bentuk mengangkat tangan dalam berdoa yang di ajarkan atau dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau menyebutkan lima sifat. Yang pertama adalah mengangkat tangan dengan mengisyaratkan seperti isyarat tauhid dengan telunjuk jari. Hal seperti ini biasa lakukan saat beliau saat sedang berada di atas mimbar atau di atas kendaraan. Maka sunnah bagi seorang Khatib untuk berdoa di atas mimbar dengan posisi seperti ini, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Yang kedua adalah menghadapkan kedua tangan kita ke arah kiblat dengan bagian luar telapak tangan di depan seperti ini, menghadap ke arah kiblat sementara bagian dalam telapak tangan kita menghadap ke arah badan kita. Ini kata para ulama adalah doa tadharru. Ini juga shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian yang ketiga adalah sebaliknya, menghadapkan kedua tangan ke arah kiblat dengan posisi seperti ini. Ini kata para ulama adalah istijaroh dan isti’adzah, berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian yang ketiga adalah posisi menengadahkan tangan ke langit. Jadi kedua telapak tangan kita menghadap ke langit sambil kita mengangkat tangan kita. Ini adalah bentuk permintaan, permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan yang kelima adalah mirip seperti yang keempat ini tapi sebaliknya jadi posisinya dibuat seperti ini seperti orang yang sedang iltizam di depan pintu Ka’bah ketika di Multazam. Posisinya seperti ini dan ini kata para ulama artinya adalah ibtihal. Dan lima sifat ini semuanya shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, intinya bahwasanya mengangkat tangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah salah satu sebab terkabulnya doa kita sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ

“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemalu dan Maha Pemurah.”

يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala malu kalau ada seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya kepadaNya, kalau dia membalasnya dengan tangan kosong dan kecewa.”

Kita menetapkan sifat malu untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini. Sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah punya sifat malu dan Allah malu kalau ada seorang hambaNya yang mengangkat tangan kepadaNya kemudian dia pulang dengan tangan kosong, itu akan membuat Allah malu. Maka Allah akan jawab doa-doa kita.

Yang keempat adalah faktor mengucapkan “Yaa Robbi Yaa Robbi (Wahai Tuhanku, Wahai Tuhanku). Ini juga adab doa. Ini adalah cara berdoanya para Nabi dan Rasul. “Yaa Robbi” atau “Robbi” atau “Robbana” seperti disebutkan dalam banyak ayat dan dalam banyak hadits. Jadi diantara salah satu adab doa adalah memulai doa kita dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengakui bahwasanya kita adalah hambaNya dan Dia adalah Tuhan kita, dia adalah Rabb kita.

Simak penjelasan selanjutnya pada menit ke-31:03

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 10 – Allah Maha Baik dan Hanya Menerima Yang Baik


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48221-hadits-arbain-ke-10-allah-maha-baik-dan-hanya-menerima-yang-baik/